Tebuireng sendiri lahir sebagai respon
terhadap tumbuhnya kapitalisme liberal yang tubuh bersamaan tumbuhnya
industri gula di kawasan itu. Pabrik gula itu membawa ekses
ketidakadilan sosial, pemiskinan, dan berbagai macam kriminalitas yang
sengaja dilestarikan oleh penjajah guna melemahkan mental masyarakat
jajahan.
Sebagai seorang aktivis muda, Hasyim asy’ari yang telah mendapatkan pendidikan paripurna dari seluruh peantren terkemuka di Jawa yang kemudian berpuncak mendapatkan pendidikan agama di Tanah Suci. Ia tergerak untuk mengatasi tantangan struktural itu, maka pada tahun Rabiul Awal 1317/1899 M didirikanlah sebuah pesantren di Tebuireng di Cukir. Berhadapan persis dengan pabrik Gula Cukir.
Sejak awal berdirinya, pesantren tersebut
tidak mengenakkan kalangan kolonial yang bercokol di situ, maka
gangguan demi gangguan dilakukan oleh sekelompok preman dan jagoan yang
dipelihara oleh Belanda.
Ketika posisi Kiai dan segenap santri
yang jumlanya hanya beberapa orang itu sangat terancam, maka Mbah Hasyim
Asy’ari meminta bantan pada kiai-kiai dari Cirebon yang dikenal
memiliki ilmu kanuragan yang tinggi. Kiai Abbas beserta beberapa kiai
yang lain dari Buntet Cirebon datang memberikam bantuan. Semua jagoan
yang ada di situ bisa dikalahkan sehingga mereka tidak berani lagi
menggangu pesantren. Tetapi tidak dengan sendirinya pengawasan Belanda
berhenti, sebaliknya terus diintensifkan.
Dengan berkurangnya gangguan itu, jumlah
santri yang datang semakin bertambah. Ada sekitar 28 orang yang berasal
dari berbagai tempat di Jawa Timur. Sebagai pesantren Salafiyah,
Tebuireng mengajarkan berbagai kitab penting baik dalam fiqih, tauhid
dan akhlaq.
Keahlian Mbah Hasyim Asy’ari dalam bidang
hadits dan tafsir, menjadi daya tarik utama pesantren yang dirintisnya
itu. Semua kitab diajarkan sesuai dengan tradisi pesantren Salaf, yaitu
dengan metode bandongan, dan sorogan, bahkan saat itu metode halaqah
juga sudah diterapkan, sehingga kehidupan akademis para santri menjadi
dinamis dalam mengasah diri. Banyak santri senior dari pesantren juga
dating, nyantri di Tebuireng baik sekadar mencari barokah maupun sengaja
melibatkan diri dalam perjuangan politik yang gerakan dari pesantren
itu.
Saat itu santri sudah datang dari Jawa
tengan dan Jawa Barat sehingga jumlahnya kemudian meningkat hingga 200
orang. Apalagi sikap kiai yang sangat tegas pendiriannya dalam
menghadapi berbagai persoalan kolonial, menjadi daya tarik tersendiri
bagi para santri untuk berguru kepadanya. Melihat perkembangan pesantren
Tebuireng yang semakin tidak terbendung itu, pemerintah Kolonial
Belanda akhirnya terpaksa mengakui pesantren ini tahun 1906. Namun, Mbah
Hasyim ini tetap waspada. Sebab, dia tahu bahwa pengakuan ini tidak
lebih merupakan bagian dari Politiek Etis, sebuah tipu muslihat Belanda
untuk membelandakan bangsa Indonesia dan umat Islam melalui pendidikan.
Ternyata, Tebuireng tetap pada
pendiriannya, tidak mau tunduk pada Belanda dan tidak mau menerima
bantuannya, bahkan semakin intensif menyardarkan bangsanya. Pesantren
itu dituduh sebagai sarang ekstrimis Islam, karena itu pada tahun 1913
pesantren Tebuireng dihancurkan dan berbagai kitab penting dibakar oleh
Belanda.
Menghadapi tantangan yang semakin berat
itu tiada lain bagi peasantren ini untuk menyiapkan pejuang yang selain
mendalam ilmu agamanya tetapi juga memiliki bekal ilmu pengetahuan umum
yang memadai sebagai modal perjuangan nasional.
Walaupun Mbah Hasyim murni berpendidikan
Salaf, tetapi sangat menghargai kemajuan yang terjadi di lingkungannya.
Sebab itu, tahun 1919 telah diselenggarakan pendidikan formal yang
bersifat klasikal yang dinamakan Madrasah Salafiyah Syafiiyah. Pelopor
pembaruan di tebuireng ini adalah seorang Kiai Muda Muhamamad Ilayas
yang sangat dipercaya oleh K Hasyim Asy’ari, sehingga berani memulai
mengajarkan mata pelajaran umum yang selama ini belum dikenal di
pesantren salafiyah.
Kalau semua kitab agama dipelajari dengan
menggunakan bahsa Arab, tetapi saat itu, mulai diperkenalkan huruf
latin, bersamaan dengan diterapkannya mata pelajaran bahasa Melayu,
berhitung, sejarah, ilmu bumi dan sebagainya.
Tawaran baru ini sangat menarik kalangan
santri yang sedang bangkit dan bergejolak saat itu. Sehingga Tebuireng
menjadi pesantren idaman di kalangan pemuda tidak hanya dari Jawa,
tetapi dikenal di seluruh Nusantara.
Para santri dari Tebuireng ini kemudian
menjadi ulama besar yang memimin berbagai pesantren penting di
Nusantara, antara lain KH Wahab hasbullah memimpin Pesantren ambakberas,
KH Abdul Karim pendiri peantren Lirboyo dan sebagainya, termasuk K
Ahmad Shiddiq adalah murid K Hasyim yang disegani.
Kiai Hasyim dikenal sebagai tokoh yang
sangat giat bekerja mencari harta dan selalau menganjurkan orang untuk
bercocok tanam yang dianggapnya sebagai pekerjaan sangat mulia. Demikian
pula untuk mengembangkan pendidikan. Kedua dirasa sangat perlu untuk
memperkuat basis perekonomian dan basis moral. Karena itu pada tahu 1919
itu juga didirikanlah Nahdlatut Tujjar yang dipimpin sendiri kemudian
bendaharanya adalah Kiai Wahab Chasbullah. Sejak saat itu Tebuireng
menjadi simpul utama dari pergerakan nasional.
DI TENGAH gigihnya
perlawan tehadap Belanda itu, kelompok Wahabi menguasai Masjidil Haram
yang hendak menerapkan satu madzhab, yaitu Wahabi. Tingkah kelompok ini
macam-macam, di antaranta mereka hendak membongkar makam Nabi Muhammad.
Para ulama pesantren tidak setuju dengan
tingkah pola dan pemirikan agama kaum Wahabi. Lantas, Kiai Wahab usul
kepada Mbah Hasyim agar dibentuk kepanitiaan untuk memprotes tindakan
raja Ibnu Saud. Terbentuklah panitia bernama Komite Hejaz.
Dikirimlah delegasi Komite Hejaz itu.
Setelah mendapat persetujuan dari pemimpin pesantren Terbuireng itu maka
pada 31 Januari 1926 NU didirikan dan K Hasyim sendiri sebagai Rais
Akbar.
Dengan menggunakan jaringann ulama yang
dimiliki kiai, maka dengan cepat NU menyebar menjadi organisiasi besar.
Dengan sendirinya Tebuireng menjadi sentral perjuangan kaum santri
Nusantara saat itu. Ataa restu Mbah Hasyim, kiai Wahab dan kiai muda
lain semakin leluasa dan giat bergerak membangkitkan umat.
Dengan lahirnya NU, daya tarik Pesantren
Tebuireng semakin memuncak. Seiring dengan naiknya pamor pesantren itu,
maka santri berdatangan dari seluruh Nusantara. Demikian juga para
pemimpin pergerakan Nasional berdaatangan ke Pesantren itu sekedar untuk
meminta restu dan memberikan dukungan moril atas kiprahnya.
Mereka itulah yang kemudian menjadi
perintis NU di daerah masing-masing. Perlawanan terhadap penjajah juga
semakin meluas di kalangan kiai dan santri pesantren setelah mendapat
spirit baru perjuangan. Melihat gelagat semacam itu maka pesantren ini
selalu mendapatkan perhatian bahkan kunjunga dari berbagai pejabat
Belanda terutama menteri urusan pribumi.
Untuk mempercepat perkembangan pesantren
dalam penyadaran masyarakat, maka pada tahun 1934, putra Mbah Hasyim,
Kiai Wahid Hasyim, merintis pendidikan khusus yang diberi nama Madrasah
Nidzomiyah, sebuah langkah spektakular, sebabab pendidikan yang hanya
bisa diikuti santri senior dan pilihan ini mengajarkan 70 persen mata
pelajaran umum.
Di situ juga disediakan perpustakaan yang
berisi sekitar 1000 judul buku, serta tidak ketinggalan disediakan
berbagai majalah dan surat kabar, sehingga peroduk dari perguruan ini
menjadi organisator yang tertib dan piawi serta pejuang yang militant.
Hingga tahun 1940-an, jumlah kiai yang
dilahirkan dari Pesantren Tebuireng terdata sebanyak 25.000 orang
tersebar di seluruh Nusantara. Dalam penyelidikan Jepang semua kiai yang
militant tersebut ditengarai sebagai fabrikaat Tebuireng (gemblengan
Tebuireng).
Karena itu ketika melihat Mbah Hasyim
tetap membangkang tidak mau melakukan Saikere (penghormatan) pada
bendera dan kaisar jepang, maka pada april 1942 kiai ini ditangkap dan
dipenjarakan oleh Jepang.
Setelah dipenjara sekitar setahun beliau
dibebaskan tanpa syarat, bahkan kemdian diberi jabatan Tinggi sebagai
ketua Jawa Hokakai, menjadi Ketua MIAI dan ketua Masyumi.
Melihat posisi strategis dan keamana di
pesantren ini maka ketika laranagn terhadap pegibaran bendera merah
putih serta melagkan Indonesia raya diberlakukan keduanya masih bisa
berkibar dan dinyanyikan di Pesantren Tebuireng.
Pada masa menjelang kemerdekaan dan masa
awal kemerdekaan dalam mempertahankan kemerdekaan, posisi Pesantren
Tebuireng sangat sentral. Bersamaan dikeluarkannya Resolusi Jihad 22
Oktober 1945, para pimpinan Nasional baik Bung Karno, Tan malaka dan
Bung Tomo selalu berkordinasi ke Tebuireng untuk menghadapi sekutu.
Para sntri ulama dan keluarga Pesantren
Tebuireng semuanya turun ke medan laga menjadi tentara seperti KH Wahid
Hasyim, KH Chaliq, KH Hasyim, KH Yusuf Hasyim dan sebagainya. Seusai
kemerdekaan banyak di antara mereka yang kembali mengajar di pesantren
dan yang meneruskan perjuangan di parlemen dan di berbagai lembaga
eksekutif.
Dengan peran politiknya yang besar,
melahirkan tokoh-tokoh besar, Tebuireng menjadi semakin dikenal, apalagi
pendirinya yakni KH Hasyim Asy’ari dan kemudian puteranya KH Wachid
Hasyim mendapatkan gelar sebagai Pahlawan Nasional sehingga namanya
menghiasi sejarah perjuangan nasional.
Pamor ini dengan sendirinya menyedot
minat masyarakat belajar ke pesantren besar ini, karena itu pendidikan
semakin dikembangkan baik secara materi dan fisik bangunannya.
Sejak tahun 1965 pesantren ini dipimpin
oleh KH Yusuf Hasyim, yang kemudian pada tahun 1969 merintis pendirian
pendidikan tinggi dengan membangun Universitas Hasyim Asy’ari.
Sepeninggal KH Yusuf Hasyim epemimpinan
Pesantren Tebuireng dilanjutkan oleh KH Salahuddin Wahid. Saat ini
pesantren Tebuireng semakin ramai dikunjungi orang dari berbagai
kalangan semenjak KH Abdurrahman Wahid putera dari KH Wahid Hasyim
dimakamkan bersama dengan kakeknya KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahid
Hasyim.
Setiap hari ribuan penziarah dari
kalangan muslim maupun non Muslim menziarahi makam KH Abdurrahman Wahid,
sebagai tokoh pemersatu bangsa yang sangat dihormati oleh semua
kalangan, sehingga pesantren Tebuireng yang semula surut saat ini
kembali dikenal dan menjadi pusat perhatian. (Abdul Mun’im DZ.)
Sumber:
H . Aboebajar Aceh, Sejarah Hidup KH
Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, Diterbitkan Panitia Peringatan KH
Wahid Hasyim, Jakarta 1957.,
Choirul Anam Pertumbuhan dan Perkembangan NU, Penerbit Bisma Satu, Surabaya, 1999.
Departemen Agama RI, Enskilopedi Islam, Penerbit Depag RI, Jakarta, 1987.
Posted by 19.40 and have
, Published at